disertai tanya jawab - Penerbit : Lirboyo Press - Berat : 550 gram halaman 359 Terbitnya buku yang mengkaji kitab kuning Tijan ad-Durori. Kitab ini merupakan kitab dasar yang menjelaskan tentang tauhid. Sangat cocok untuk masa sekarang karena banykanya aliran yang muncul dan berkembang namun tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya,Oleh Achmad Ghulam Fadel [email protected] Ma’rifat adalah pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati, sebagai kelengkapan pengetahuan terhadap Tuhan melalui daya aqliyah yang lazim dikenal dengan al-;ilm billah. Seseoroang yang mencapai titik ma’rifat disebut al-arif dan yang mengenal Tuhan dengan daya nalar logikanya, terutama mencapai tauhid disebut al-;alim wal al-ulama. Sedangkan mahabbah ilahiyyah atau cinta ilahi adalah salah satu dari hal-hal yang menjadi dambaan dan cita-cita setiap hamba-Nya, yaitu suatu perasaan cinta kepada yang Maha Suci, yaitu cinta suci Allah pada makhluk-Nya atau cinta suci terhadap Allah. Ma’rifat dan Mahabbah Ilahiyyah Pendahuluan Pengertian ma’rifat berasal dari kata arafa yang berarti pengetahuan. Ma’rifat juga mengartikan pengetahuan tentang rahasia hakikat agama, yakni ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang biasa kita dapatkan pada umumnya. Ma’rifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan hal-hal bersifat dhohir, akan tetapi lebih mendalam terhadap batin dengan mengetahui rahasianya. Hal ini berdasarkan pada pandangan bahwa akal manusia sanggup mengetahui hakekat ketuhanan, yang berarti satu dan segala yang maujud berasal dari Yang Maha Tunggal. Ma’rifat digunakan juga untuk menunjukkan pada slah satu tingkatan dalam tasawuf. Dalam makna ini, ma’rifat diartikan sebagai pengetahuan mengenai Tuhan melalui batin, seseorang yang telah mencapai titik ini mampu memiliki rasa takut akan kedahsyatan Tuhan yang Maha Agung dan mampu mencapai mahabbah tehadap Allah. Foto Freepik Pengetahuan ma’rifat itu demikian lengkap dan jelas hingga jiwa merasa bersatu dengan yang diketahuinya, selanjutnya Prof. Dr. Harun Nasution tokoh islam dan seorang intelektual dan juga merupakan filsuf mengatakan bahwa ma’rifat menggambarkan hubungan rapat dalam bentuk gnosis atau gerakan keagamaan pengetahuan dengan batin, ma’rifat berarti mengetahui Tuhan secara dekat. BACA JUGA Kontroversi Ilmu Filsafat Ibnu Sina Orang-orang sufi mengatakan bahwa ma’rifat, jika mata yang terdapat dalam hati manusia terbuka, maka kepalanya akan tertutup seketika itu hanya Allah yang dilihatnya. Ma’rifat adalah cermin, kalau seorang arif meligat ke cermin itu maka yang terjadi hanya Allah yang akan dilihatnya, yang dilihat baik sewaktu tidur maupun sadar dari tidur. Ma’rifat dan Mahabbah Ilahiyyah, Dari beberapa definisi di atas dapat di ketahui, bahwa ma’rifat adalah mengetahui rahasia-rahasia dengan menggunakan hati. Dengan demikian lah tujuan yang dicapai oleh ma’rifat ini adalah mengetahui rahasia-rahasia yang tedapat pada Tuhan. Alat untuk mecapai ma’rifat adalah qalb atau hati yang telah terdapat dalam diri manusia. Selain sebagai alat untuk merasa, hati juga dapat menjadi alat untuk berfikir, perbedaan qalb dan aql adalah, bahwasannya akal tidak dapat memperoleh pengetahuan sebenearnya tentang Tuhan, sedangkan hati atau qalb bisa mengetahui hakekat dari segala yang ada, dan jika terlimpahkan oleh cahaya Tuhan maka bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Hati yang telah dibersihkan dari segala perbuatan dosa dan maksiat melalui dzikir dan wirid secara istiqomah dan setelah hati ini disinari oleh cahaya Tuhan, maka akan dapat mengetahui rahasia-rahasia Tuhan. Proses sampainya cahaya Tuhan terhadap hati ini behubungan erat dengan takhalli, tahalli, dan tajalli. Takhalli yakni mengosangkan diri dari perbuatan tercala dan maksiat melalui bertaubat. Diterusakan dengan tahalli, yakni menghiasi diri dengan akhlakul karimah dan amal ibadah, sedangkan tajalli dapat di katakan puncak atau akhir dari takhalli dan tahalli yakni terungkapnya nur ghaib untuk hati. Mahabbah Ilahiyyah Mahabbah ilahiyyah atau disebut dengan cinta ilahi adalah satu dari hal-hal yang menjadi suatu cita-cita dari setiap manusia, dia adalah satu dari dua sisi dalam satu wadah dari seorang sufi, yakni mahabbah dan ma’rifatullah. Mahabbah adalam maqam atau jabatan spiritual seseorang di hadapan Allah. Bukan kondisi sesaat yang dalam hal ini adalah mencintai lebih dari yang lainnya, yakni mencitai sang pencipta, Allah. Mahabbah ilahiyyah yaitu perasaan cinta terhadap sang pencipta, yakni cinta Allah terhadap makhluk-Nya. Mahabbah muncul dan tumbuh dalam hati seseorang, bukan karena dorongan atau paksaan, baik oleh akal dan atau nasfu melainkan karena kehendak dan anugerah Allah semata. Maka anugerah tersebut di berikan atas dasar istiqomah seseorang dalam melaksanakan tarekat beragamanya, bukan atas keinginan dan upaya-upaya seseorang, sikap tersebut tertanam dalam hati yang relatf tetap. Dalam melakukan kajian mahabbah ini, setidaknya terdapat empat aspek yang bisa dikemukakan. Pertama, adalah tentang pengertian, tujuan, dan kedudukan dari mahabbah itu sendiri. Kedua, mengemukakan alat yang digunakan untuk mewujudkan mahabbah. Ketiga, tokoh-tokoh yang memperkenalkan konsep mahabbah. Dan yang keempat adalah pandangan dari Al-Quran dan Hadits tentang mahabbah tersebut. Pengertian mahabbah dapat diartikan kecenderungan terhadap sesuatu yang sedang berjalan dengan tujuan untuk memperoleh kebutuhan baik yang besifat materi atau spiritual. Mahabbah pada tingkat selanjutnya dapat juga di artikan suatu upaya atau usaha yang sungguh-sungguh dari seseorang untuk mencapai tingkat rohaniyah tertinggi dengan tercapainya gambaran kedekatannya terhadap Allah. Ma’rifat dan Mahabbah Ilahiyyah, Tujuan Sedangkan tujuan dari mahabbah dapat diperoleh dari pemahaman bahwa mahabbah adalah suatu keadaan jiwa yang mencintai terhadap Allah dengan sepenuh hati, sehingga sifa-sifat yang dicintai oleh Allah masuk kedalam diri yang dicintai-Nya. Tujuannya adalah untuk memperoleh kesenangan batiniyah yang sulit untuk di ungkapkan dengan kata-kata, akan tetapi dirasakan oleh jiwa diri kita. Selain itu, juga dapat menggambarkan mahabbah adalah suatu kondisi atau keadaan seseorang, seperti perasaan senang, sedih, takut, dan sebagainya. Foto Pixabay Alat untuk mencapai mahabbah dalam diri manusia ada tiga alat yang dapat digunakan behubungan dengan Allah. Pertama, yaitu al-qalb sebagai mengetahui sifat-sifat dari Allah. Kedua, al-ruh sebagai alat untuk mencari keberadaan Allah. Dan yang ketiga adalah, al-sirr yaitu sebagai alat untuk melihat Allah. BACA JUGA Mengenal Ibnu Miskawaih, Intelektual Muslim Pendiri Filsafat Akhlak Arti dari sirr sendiri lebih halus daripada roh dan roh lebih halus daripada qalb. Yang mungkin sirr betempat pada roh dan roh bertempat pada qalb. Sirr muncul dan dapat menerima dari Allah, ketika roh dan qalb suci dan kosong, tidak berisi apapun. Dengan keterangan tersebut, bisa diketahui bahwa alat untuk mahabbah atau mencintai terhadap Allah adalah roh, yaitu roh yang sudah dibersihkan dari perbutan dosa dan maksiat serta dikosongkan dari kecintaan duniawi dan segala apapun itu, melainkan hanya diisi oleh cinta kepada Allah. Ma’rifat dan Mahabbah Ilahiyyah, Kesimpulan Dari bacaan di atas dapat disimpulkan bahwa ma’rifat dan mahabbah salalu berhubungan, baik dalam kedudukannya ataupun pengertiannya. Kalau ma’rifat adalah tingkatan kepada Allah melalui hati al-qalb, maka mahabbah adalah perasaan kedekatan dengan Allah melalui cinta ruhiyyah. []
Րሽсант νихαщаջ ቭчуйуσቤф
Уцոսετобቹ οвровеφапс з
Хичωգասը πեթоμևψαφи
ኧθба ժኆτув
Т ቻծи
У ыгл
Εрաσοպ αщоպեዳ
Ицорюж идроξጵтвእዲ ижоጰի
Изеρо ኝ
Щ ዳεթеկα խр
Оγθкромω иሦեпаврαλቱ йሾщипевա
Всуկ кларо
TentangMa'rifatullah Sebuah hadis meriwayatkan, pada suatu hari di majlis pengjian, Rasulullah bersabda ditengah-tengah orang banyak, tiba-tiba hadir seorang lelaki, lantas bertanya ? "Apa itu Iman, apa itu Islam, apa itu Ihsan ? dijawab pertanyaan tersebut oleh Rasulullah satu persatu.
At Tauhid edisi V/9 Oleh Muhammad Nur Ichwan Muslim Mengenal Allah, Rabbul alamin merupakan intisari dakwah dan risalah. Bahkan hal inilah yang menjadi prioritas utama dalam dakwah setiap rasul. Di berbagai tempat dalam kitab-Nya, Allah memperkenalkan diri-Nya dengan berbagai sifat yang Dia miliki. Sebuah bukti yang jelas bahwa Allah menghendaki agar para hamba mengenal diri-Nya. Bukti yang kongkrit bahwa ma’rifatullah mengenal Allah adalah suatu hal yang dituntut dari diri seorang hamba. Bahkan tidak berlebihan kiranya, jika kita mengatakan bahwa pribadi termulia adalah seorang yang paling mengenal Allah ta’ala. Oleh karena itu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam pernah bersabda, “Saya adalah pribadi yang paling mengenal Allah dari kalian.” Al Fath, 1/89. Begitu pula, senada dengan makna hadits di atas, adalah apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Pribadi termulia yang memiliki cita-cita dan kedudukan tertinggi adalah seorang yang merasakan kelezatan dalam ma’rifatullah mengenal Allah, mencintai-Nya, rindu untuk bertemu dengan-Nya serta mencintai segala sesuatu yang dicintai dan diridhai-Nya.” Al Fawaa-id, hal. 150. Ma’rifatullah serta Mengenal Nama dan Sifat-Nya Pertanyaan yang mungkin terbersit dalam benak kita adalah, “Siapakah ahli ma’rifah tersebut?” atau “Bagaimanakah potret seorang yang dapat dikategorikan sebagai ahli ma’rifah?” Biarlah hal ini dijawab oleh sang pakar hati, Abu Bakr Az Zur’i yang terkenal dengan Ibnul Qayyim, Syaikhul Islam kedua. Beliau mengatakan, “Al arif orang yang mengenal Allah dengan benar menurut para ulama adalah orang yang mengenal Allah ta’ala dengan berbagai nama, sifat dan perbuatan-Nya. Kemudian dibuktikan dalam perikehidupannya yang dibarengi niat dan tujuan yang ikhlas…” Madaarijus Saalikin, 3/337. Pernyataan beliau di atas menunjukkan bahwa pengetahuan dan keimanan seorang hamba tidak akan kokoh, hingga ia mengimani berbagai nama dan sifat-Nya dengan ilmu pengetahuan yang dapat menghilangkan kebodohan terhadap Rabb-nya. Prof. Dr. Muhammad Khalifah At Tamimi mengatakan, “Pengetahuan pengenalan hamba terhadap berbagai nama dan sifat-Nya berdasarkan wahyu yang disampaikan Allah di dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya akan mampu membuat seorang hamba merealisasikan penghambaan ubudiyah kepada Allah secara sempurna. Setiap kali keimanan terhadap sifat-Nya bertambah sempurna, maka kecintaan dan keihklasan kepada-Nya akan semakin menguat. Manusia yang paling sempurna dalam penghambaannya kepada Allah adalah orang yang beribadah dengan merealisasikan seluruh kandungan nama dan sifat-Nya.” Mu’taqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah fii Tauhidil Asma wash Shifaat, Oleh karena itu, mempelajari dan memahami berbagai nama dan sifat Allah merupakan hal yang sangat urgen karena memiliki kaitan yang erat dengan kewajiban untuk mengenal Allah ma’rifatullah. Kaidah Dasar Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam Masalah Nama dan Sifat Allah Kaidah pokok yang diyakini oleh ahlus sunnah wa jama’ah dalam hal ini adalah meneliti semua dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat Allah tanpa merusaknya dengan cara mentakwil atau menyelewengkan maknanya. Hal inilah yang akan menghantarkan seorang kepada ma’rifatullah yang benar. Ketika ia mengimani berbagai sifat Allah yang ditetapkan oleh diri-Nya sendiri dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, ia mengetahui bahwa Allah memiliki berbagai sifat yang sempurna dan agung. Tidak ada ruang di dalamnya untuk menyelewengkan berbagai sifat tersebut dengan makna-makna yang batil. Al Imam Ibnu Katsir Asy Syafi’i dalam Tafsirnya 2/294 mengatakan, “Sesungguhnya dalam permasalahan ini pembahasan mengenai nama dan sifat Allah kami meniti menempuh madzhab salafush shalih, yaitu jalan yang ditempuh juga oleh imam Malik, Al Auza’i, Ats Tsauri, Al Laits ibnu Sa’d, Asy Syafi’i, Ahmad, Ishaq ibnu Rahuyah dan imam-imam kaum muslimin selain mereka, baik di masa terdahulu maupun di masa ini. Madzhab mereka dalam permasalahan ini adalah membiarkan dalil-dalil yang berbicara mengenai nama dan sifat-Nya apa adanya, tanpa dibarengi dengan takyif menetapkan hakikat sifat, tasybih menyerupakan sifat-Nya dengan sifat makhluk dan ta’thil menolak sifat bagi Allah. Segala bentuk gambaran sifat yang terbetik dalam benak kaum musyabbihin golongan yang menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk tertolak dari diri Allah. Tidak ada satupun makhluk yang serupa dengan-Nya dan tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” QS. Asy Syura 11. Oleh karena itu, pendapat yang benar dalam hal ini adalah pendapat yang ditempuh oleh para imam, diantara mereka adalah Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari. Beliau mengatakan, “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka sungguh dia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari sifat yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya sendiri, maka sungguh dia juga telah kafir. Segala sifat yang ditetapkan Allah dan Rasulullah bagi diri-Nya bukanlah tasybih. Oleh karenanya, seorang yang menetapkan segala sifat yang terdapat dalam berbagai ayat yang tegas dan hadits-hadits yang shahih sesuai dengan keagungan-Nya serta menafikan segala bentuk kekurangan dari diri Allah, maka dia telah menempuh jalan hidayah.” Beberapa Faktor yang Menghalangi Ma’rifatullah Ma’rifatullah terhalang dari diri seorang hamba dengan menafikan sifat-sifat dan menentang berbagai nama yang Dia tetapkan. Bagaimana bisa seorang yang tidak mengakui berbagai nama yang Dia tetapkan berikut sifat yang terkandung di dalamnya bisa mengenal Allah ta’ala?! Bisakah seorang yang tidak mengenal-Nya bisa mencintai-Nya? Al Hasan Al Bashri rahimahullah ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengenal Rabb-nya, niscaya dia akan mencintai-Nya.” Al Hamm wal Hazn Ihya Ulumid Diin, 4/295. Oleh karenanya Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Tatkala pujian dan sanjungan dengan menggunakan nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan sesuatu yang paling dicintai oleh-Nya, maka pengingkaran terhadap nama, sifat dan perbuatan-Nya merupakan tindakan ilhad kriminalitas dan kekufuran terbesar kepada-Nya. Tindakan ini lebih buruk daripada kesyirikan. Seorang mu’aththil menafikan nama dan sifat-Nya lebih buruk daripada seorang musyrik, karena kondisi seorang musyrik tidaklah sama dengan derajat orang yang menentang berbagai sifat-Nya dan hakikat kerajaan-Nya serta mencela sifat yang Dia miliki dan menyamakan/menyekutukan Allah dengan selain-Nya. Maka, pada hakikatnya kelompok mu’aththil golongan yang menafikan nama dan sifat-Nya adalah musuh sejati para rasul. Bahkan akar seluruh kesyirikan adalah tindakan ta’thil, karena jika tidak dilatarbelakangi oleh ta’thil terhadap kesempurnaaan zat dan sifat-Nya serta buruk sangka terhadap-Nya, tentulah Allah tidak akan disekutukan.” Madaarijus Saalikin, 3/347. Berikut beberapa bentuk ilhad kriminalitas terhadap Allah yang terkait dengan nama dan sifat-Nya, kami sajikan secara ringkas kepada anda dikarenakan keterbatasan ilmu kami. Pertama, menyerupakan menganalogikan sifat Allah dengan sifat makhluk-Nya atau yang dikenal dengan istilah tamtsil atau tasybih. Ketika Allah ta’ala menetapkan diri-Nya memiliki wajah dan tangan, orang yang melakukan tamtsil mengatakan wajah dan tangan Allah tersebut seperti wajah dan tangan kita. Hal ini didustakan oleh Allah dalam firman-Nya yang artinya, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat.” QS. Asy Syuura 11. “Maka janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah yang kamu serupakan dengan-Nya.” QS. An Nahl 74. Penganalogian sifat Allah dengan makhluk-Nya merupakan aib, karena Allah, Zat yang Mahasempurna diserupakan dengan makhluk yang penuh dengan kekurangan. Kedua, menolak nama dan sifat Allah, baik menolak seluruhnya atau sebagiannya. Termasuk bentuk penolakan nama dan sifat-Nya adalah menyelewengkan makna nama dan sifat-Nya seperti memaknai sifat cinta yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya sendiri dengan arti iradatul lit tatswib keinginan untuk memberi pahala. Orang yang menafikan nama dan sifat-Nya beralasan jika kita menetapkan nama dan sifat bagi Allah, maka hal ini akan berkonsekuensi menyerupakan-Nya dengan makhluk karena makhluk pun memiliki cinta. Hal ini tidak tepat dengan alasan bahwa Allah ta’ala telah menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan di sisi lain Dia menetapkan bahwa Dia memiliki sifat. Lihatlah surat Asy Syuura ayat 11 di atas! Allah ta’ala menyatakan bahwa tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, namun Dia juga menetapkan bahwa Dia memiliki sifat mendengar dan melihat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya. Penetapan sifat bagi Allah meskipun memiliki nama yang sama dengan sifat makhluk tidak berkonsekuensi menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Perhatikan kembali perkataan Nu’aim bin Hammad Al Khaza’i, guru imam Al Bukhari Jilani yang dibawakan oleh imam Ibnu Katsir atau kaidah yang disampaikan oleh Syaikh Abdul Qadir Al Jilani di atas! Demikian pula, alasan di atas dapat dibantah secara logika bahwa kesamaan nama suatu sifat tidak berkonsekuensi adanya kesamaan hakikat sifat tersebut. Contoh praktisnya, makhluk memiliki pendengaran dan penglihatan, apakah pendengaran dan penglihatan mereka antara satu dengan yang lain memiliki hakikat dan bentuk yang sama?! Tentulah kita akan menjawab tidak. Ketika Dia menetapkan sifat mendengar, melihat atau cinta bagi diri-Nya, maka meskipun sifat tersebut juga dimiliki oleh makhluk tentu hakikat sifat tersebut tidaklah sama dengan sifat makhluk-Nya. Sifat yang Dia tetapkan bagi diri-Nya sendiri adalah sifat yang sesuai dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, tidak seperti sifat yang dimiliki oleh makhluk yang dipenuhi kekurangan. Ketiga, menetapkan suatu kaifiyah bentuk/cara bagi sifat Allah ta’ala. Hal ini dinamakan dengan takyif dan termasuk ke dalam bentuk ini adalah mempertanyakan hakikat dan kaifiyah sifat Allah ta’ala. Contoh praktisnya semisal perkataan, “Tangan Allah itu panjang dan besarnya sekian”. Hal ini salah satu bentuk kelancangan terhadap-Nya karena berkata-kata mengenai Allah ta’ala tanpa dilandasi dengan ilmu. Ketika hakikat dan bentuk Zat Allah saja tidak kita ketahui, maka bagaimana bisa kita lancang menetapkan sifat Allah bentuknya begini dan begitu?! Oleh karena itu, ketika Imam Malik dan gurunya, Rabi’ah ditanya mengenai hakikat sifat istiwa bersemayam Allah oleh seseorang, mereka mengatakan, “Istiwa diketahui maknanya, namun hakikatnya tidak dapat dinalar dijangkau oleh logika. Beriman kepadanya wajib dan bertanya mengenai hakikatnya adalah bid’ah.” [Lihat perkataan beliau ini dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah 3/398; Itsbat Shifatil Uluw hal. 119 dan Dzammut Takwil hal. 13 dan Lum’atul I’tiqad hal. 64 karya Abdullah bin Ahmad bin Qudamah Al Maqdisi; Idlohud Dalil fii Qath’i Hujaji Ahlit Ta’thil hal. 14 Muhammad bin Ibrahim bin Sa’ad bin Jama’ah; Al I’tiqad hal. 116 Ibnul Husain Al Baihaqi; Al Ulum li Aliyyil Ghaffar hal. 129 Adz Dzahabi. Urgensi dan Kesalahan dalam Ma’rifatullah Berbagai tindakan di atas merupakan perbuatan yang akan menghalangi seorang hamba untuk mengenal Zat yang harus dia cintai. Berbagai tindakan tersebut akan membuat seorang mengenal Rabb-nya dengan bentuk pengenalan yang keliru atau bahkan menghantarkan seorang hamba menjadi pribadi yang tidak mengenal Allah karena dirinya tidak mengenal sifat Zat yang dia cintai. Kita tutup pembahasan kita ini dengan perkataan Ibnul Qayyim rahimahullah yang menunjukkan pentingnya memahami permasalahan nama dan sifat Allah ta’ala karena sangat terkait dengan ma’rifatullah pengenalan terhadap Allah. Beliau mengatakan, “Mengimani dan mengetahui berbagai sifat-Nya, menetapkan hakikat makna bagi sifat tersebut, keterkaitan hati dengannya serta menyaksikan pengaruh sifat tersebut merupakan jalan awal, pertengahan dan tertinggi untuk mengenal-Nya. Hal ini merupakan ruh bagi para saalikin orang-orang yang berjalan menuju Allah, kendaraan yang akan menghantarkan mereka, penggerak tekad ketika malas dan penggugah semangat ketika tidak maksimal dalam beribadah. Perjalanan mereka menuju Allah bergantung pada bekal-bekal yang akan menopang perjalanan mereka. Setiap orang yang tidak berbekal, maka pasti dia tidak mampu menempuh perjalanan. Dan ketahuilah bekal terbaik adalah pengetahuan terhadap sifat Zat yang dicintai dan itulah puncak keinginan mereka.” Madaarijus Saalikin, 3/350. Beliau melanjutkan, “Sesungguhnya berbagai sifat Allah yang sempurna dan digunakan untuk berdo’a kepada-Nya serta hakikat berbagai nama-Nya adalah faktor pendorong hati seorang untuk mencintai Allah dan sampai kepada-Nya. Hal ini dikarenakan hati hanya akan mencintai orang yang dikenalnya, takut, berharap, rindu, merasa senang dan tenteram ketika menyebut namanya sesuai dengan kadar ma’rifah pengenalan hati terhadap sifatnya.” Madaarijus Saalikin, 3/351. Demikianlah pembahasan kita kali ini, besar harapan kami uraian ini dapat bermanfaat bagi diri penulis dan orang yang membacanya. Wa shallallahu ala Muhammadin wa ala alihi wa shahbihi wa sallam. [Muhammad Nur Ichwan Muslim]
Ada4 tingkatan ilmu makrifat, yaitu : 1. Ilmu Syariat Syara'a artinya jalan, dapat dimaksudkan sebagai hukum, metode. Syariat ini tertuang didalam hukum-hukum fikih yang harus dipahami dan dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Tingkatan kesadaran: ada milikku, ada milikmu. 2.
Arti Kata Ma'rifatullah dalam Bahasa Arab Viral di TikTok, Benarkah Bermakna Mengenal Allah SWT? - Banyaknya pengguna TikTok membuat kosa kata yang muncul juga beranekaragam. Termasuk kosa kata berbahasa Arab dalam konten-konten yang berkaitan dengan agama Islam, salah satunya kata Ma'rifatullah. Beberapa waktu yang lalu, kata Ma'rifatullah menjadi salah satu kata bahasa Arab yang banyak dicari oleh pengguna TikTok. Banyak yang mengaitkan arti kata Ma'rifatullah dengan hubungan kepada tuhanNya. Lalu apa yang dimaksud dengan kata Ma'rifatullah dalam bahasa Arab yang viral di media sosial? Baca juga Arti Kata Rajab dalam Bahasa Arab, Menjadi Salah Satu Bulan Agung dalam Kalender Hijriyah Baca juga 4 Kosa Kata Bahasa Arab Populer Simak Arti Kata Ya Tarim Syailillah, Yasir Lana hingga Tabarakallah Agar kamu semakin paham tentang arti kata Ma'rifatullah, kamu bisa menyimak informasi di bawah ini. TribunPalu telah menelusuri arti kata Ma'rifatullah dari ceramah Buya Yahya melalui tayangan YouTube Al-Bahjah TV. Arti Kata Ma'rifatullah Buya Yahya menjelaskan jika kata Ma'rifatullah memiliki arti mengenali Allah SWT dengan mengenali makhluknya. Buya mengatakan jika makna Ma'rifatullah yang sederhana ialah menyayangi makhluk Allah SWT. "Mengenali Allah dengan mengenali makhluknya, bukan malah sama istrinya menempeleng gitu, bukan," ujarnya saat menjawab pertanyaan jemaah. Makna Ma'rifatullah ialah memahami Allah SWT yang mana seorang hamba selalu merasa melihat Allah SWT. Kata Ma'rifatullah bukan berarti seorang hamba bisa melihat Allah dalam mengenaliNya.1Orang Islam yang membaca al-Qur'an tergolong Ma B. Arab, 02.08.2021 2,BERIMAN ALLAH ATAU MA'RIFATULLAH MERUPAKAN SUATU KEHARUSAN BAGI SETIAP ORANG YG BERIMAN 1. surat ini berisi kandungan tentang kita tidak boleh menyembah tuhan selain Allah karena di dalam Q S al kafirun Allah menegaskan kpd orang kafir quraisy kita tidak boleh
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’âla yang telah mengajarkan hamba-hamba-Nya apa-apa yang tidak dia ketahui,kemudian shalawat beserta salam tercurahkan kehadirat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, keluarganya, para sahabatnya y dan orang-orang yang mengikutinya sampai akhir zaman. Ma’rifatullah atau mengenal Allah Azza wa Jalla merupakan satu perkara wajib yang mesti diketahui oleh seorang muslim karena tanpa mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla tidak akan mungkin bisa diraih kebahagian hidup, surga Allah Subhanahu wa Ta’âla. Seseorang yang tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan benar tidak akan mengerti hakekat hidup yang sesungguhnya, dalam artian siapakah dia, untuk apa ia diciptakan oleh Allah Subhanahu wa Ta’âla. Mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla merupakan salah satu dari tiga pertanyaan yang akan ditanyakan oleh malaikat kepada manusia tatkala mereka masih berada di alam Barzakh alam kubur. Adapun tiga pertanyaan itu adalah sebagai berikut 1. Pertanyaan tentang siapa Robbmu 2. Apa agamamu 3. Siapa Nabimu Ketiga pertanyaan di atas merupakan tiga landasan pokok yang wajib diketahui oleh setiap muslim. Ketidaktahuan seseorang kepada tiga hal tersebut akan menyebabkan ia mendapat azab dari Allah Subhanahu wa Ta’âla Apa tujuan yang hendak dicapai ketika seseorang mengenal Allah I ? Seseorang yang tidak mengerti tujuannya, maka ia akan berada dalam kebingungan dan terombang-ambing sehingga ia akhirnya terjatuh kedalam lembah kesesatan dan kebathilan. Oleh karena itu Syaikh utsaimin rahimahullah mengatakan bahwa; ketika seseorang telah mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan benar, maka secara pasti mereka akan mempunyai beberapa sikap yang akan tampak pada dirinya, diantara sifat tersebut adalah 1. Menerima syariat yang ditetapkan Allah Azza wa Jalla. 2. Tunduk dan patuh kepada Allah Subhanahu wa Ta’âla 3. Menjadikan Syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah r sebagai penentu hukum. Tentunya semua ini akan menjadi pertanyaan bagi kita, kenapa banyak orang tidak mau menerima Syariat Islam yang Allah Subhanahu wa Ta’âla tetapkan, kenapa banyak kaum muslimin tidak mau patuh dan tunduk kepada Allah Subhanahu wa Ta’âla? Bahkan mereka lebih mendahulukan hawa nafsunya ketimbang mentaati perintah Allah Subhanahu wa Ta’âla, bahkan mereka masih berhukum dengan hukum jahiliyah yang mereka buat sendiri. Tentu semua jawabannya kembali kepada satu titik terang, yaitu mereka tidak mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan benar. Mengenal Allah I dengan benar akan membuahkan ketaatan dan kecintaan kepada Allah Azza wa Jalla. Siapakah Robb-mu Tuhanmu Agar seorang muslim bisa mengenal Robbnya dan bisa patuh serta mencintai Allah Azza wa Jalla, maka mereka wajib mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan benar dan menurut pandangan Syariat. Robb kita adalah Allah Subhanahu wa Ta’âla, Dialah yang menciptakan kita, Yang memberi rezeki, Yang menghidupkan dan mematikan, Dia-lah Allah Subhanahu wa Ta’âla Robbul alamin, Dialah Allah Azza wa Jalla Dzat yang wajib kita sembah. Hanya Dia yang kita sembah dan tidak boleh mempersekutukan-Nya dalam bentuk apapun. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’âla yang telah menurunkan kepada makhluknya semua nikmat. Nikmat-nimat Allah Azza wa Jalla tidak terhitung banyaknya “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan bisa menghitung-Nya.” QS. an-Nahl 18 Untuk lebih meyakinkan kita tentang siapakah Allah I, maka mari kita lihat ayat-ayat al-Qur’an 1. Allah Subhanahu wa Ta’ala menciptakan manusia dari tanah Allah Subhanahu wa Ta’âla berfirman “Dia-lah Allah yang telah menciptakan kamu dari tanah, kemudian menetapkan ajal, dan ajal yang telah ditentukan untuk berbangkit yang ada pada sisi-Nya yang hanya Dia mengetahuinya, kemudian kamu masih ragu tentang hari berbangkit itu” QS. al-An’am 2 2. Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha pemberi rezkiSebagaimana firman-Nya “Sesungguhnya Dia-Nya Allah Maha Pemberi rezeki dan Yang Maha Kuat lagi Kokoh” QS. adz-Dzaariyat 58 “Katakanlah siapakah yang memberi rezeki kepadamu dari langit dan bumi, atau siapakah yang memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan siapakah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati, dan yang mengeluarkan yang mati dari yang hidup, dan siapakah yang mengatur segala urusan ? Maka mereka akan menjawab “Allah” Yunus 31 3. Allah Subhanahu wa Ta’ala ciptakan manusia untuk mentauhidkan-Nya dan beribadah kepada-Nya hal ini Allah Subhanahu wa Ta’âla berfirman “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka menyembah-Ku”. QS. adz-Dzaariyat 59 4. Allah Subhanahu wa Ta’ala merupakan Robb sekalian dalam firman-Nya “Segala puji bagi Allah Robb sekalian alam”. QS. al-Fatihah 2 Robb artinya Dialah Allah Subhanahu wa Ta’âla yang membimbing, memberikan nikmat, pencipta manusia, penguasa dan Maha mengatur terhadap manusia, sebagaimana yang Dia kehendaki, sedangkan kata-kata -alam- adalah setiap apapun selain Allah Subhanahu wa Ta’âla. Apa metode manhaj dalam mengenal Allah I ? Hal ini sangat perlu dan wajib kita ketahui, karena tatkala seseorang tidak mengenal cara yang benar dalam mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla, maka ia akan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla dengan cara-cara keliru. Contoh kekeliruan dalam mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla adalah dengan anggapan bahwa mengenal Allah seperti mengenal diri sendiri, mereka berdalil “Siapa yang mengenal dirinya maka mereka akan kenal dengan Tuhannya” ungkapan tersebut adalah hadist maudhu palsu. Adapun Manhaj metode dalam mengenal Allah Subhanahu wa Ta’âla adalah 1. Mentadabburi dan tafakkur terhadap kebesaran ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan keagungan-Nya, karena dengan melakukan hal seperti itu akan mengantarkan seseorang kepada mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengenal kekuasaan-Nya, dan keagungan-Nya serta rahmat-Nya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu yang diciptakan Allah”.QS. al-A’raf 185“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan pada pertukaran malam dan siang, terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang-orang yang berfikir.” QS. Ali Imran 190 Tatkala seseorang mau mengkaji dan mentadabburi ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang agung ini, maka dengan sendirinya mereka akan semakin yakin dan kagum kepada Penciptanya, Dzat yang maha segala-galanya dan tidak bisa disaingi oleh siapapun. Lihatlah langit, bulan, matahari, siang, malam bahkan manusia sendiri yang diciptakan dalam sebaik-baik bentuk. Semua ini menunjukkan kehebatan Sang Pencipta. 2. Mengkaji ayat-ayat Syar’i al-Qur’an Seseorang yang ingin kenal dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka wajib baginya untuk memandang ayat-ayat Syar’i, yaitu alqur’anul karim. Karena tidak cukup hanya dengan melihat keagungan ciptaan-Nya saja. Al-Qur’an akan memberikan keyakinan dan akan memperkenalkan kepada tentang Allah Azza wa Jalla, ia merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala, di dalamnya terdapat kemaslahatan-kemaslahatan yang besar, karena tidak akan tegak kehidupan makhluk, baik di dunia maupun di akhirat kecuali dengan mengenalnya. Dalam hal ini Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman “Maka apakah mereka tidak mentadabburi al-Qur’an. Kalau sekiranya al-Qur’an itu bukan dari Allah, maka sungguh mereka akan mendapati perselisihan yang sangat banyak di dalamnya”.QS. an-Nisaa’ 82 Tentu semua ini harus dikaji dengan ilmu, sedangkan untuk mendapatkan ilmu seseorang tidak boleh berpangku tangan, atau menunggu datangnya ilmu tersebut. Hendaklah seseorang yang akan mengenal Allah I mau belajar, hadir di majelis-majelis ilmu, mempunyai perhatian tentang Aqidah yang Shohih. Semakin tinggi ilmu seseorang tentang Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka ia akan semakin mengetahui nikmat dan manfaat yang dapat ia rasakan, bahkan ia akan semakin takut untuk melakukan perbuatan dosa dan maksiyat, dan juga ia akan merasakan semakin kuat dorongan di dalam beramal sholeh dan melaksanakan syari’at agama ini. Hal ini disebabkan karena perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala yang lain adalah realisasi dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala. Untuk menambah bahan bacaan dalam hal ini kami anjurkan para pembaca untuk membaca buku-buku aqidah seperti Syarah Tsalatsatul Ushul oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh al-Utsaimin, kitab Tauhid oleh Syaikh Sholeh al-Fauzan dari jilid 1 – 3. 4 hal pokok yang wajib diperhatikan dalam mengenal Allah Azza wa Jalla dan beriman dengan-Nya. 1. Beriman dengan adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala Seorang yang mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala wajib baginya meyakini adanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik dengan dalil akal maupun dalil naqli al-Quran dan Sunnah 2. Beriman dengan Rububiyah Allah Azza wa Jalla Meyakini bahwa Dialah satu-satunya Robb, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah Allah yang menghidupkan, mematikan, memberi rezki, serta mengatur alam semesta ini. 3 Beriman dengan Uluhiyah-Nya Allah Subhanahu wa Ta’ala Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satunya zat yang harus disembah dan diibadati. 4. Beriman dengan asma’ dan sifat-Nya. Meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai nama-nama yang baik dan sifat-sifat yang husna sesuai dengan kemuliaan-Nya, dan wajib menetapkan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-Nya yang telah Dia tetapkan bagi diri-Nya di dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul. Buah dari mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala Ma’rifatullah Ketika seorang muslim telah kenal dengan Robbnya dengan benar, maka dengan sendirinya ia akan merasakan kenikmatan, ketenangan dan kebahagian hidup serta mampu menghadapi kehidupan dengan baik. Ibarat pepatah mengatakan tak kenal, maka tak sayang, dan tak sayang maka tak cinta. Syaikh Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam kitab beliau Syarah Tsalasatul Ushul, bahwa buah yang didapatkan bagi orang yang beriman dengan Allah Subhanahu wa ta’ala ma’rifatullah adalah sebagai berikut 1. Terwujudnya tauhid yang sesungguhnya, karena ia tidak lagi mempunyai ketergantungan, pengharapan dan rasa takut kecuali hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala saja, dan ia tidak menyembah kecuali kepada-Nya. 2. Sempurnanya cintanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengagungkan-Nya, disebabkan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai nama-nama yang husna dan sifat-sifat yang tinggi yang tidak sama dengan makhluk. Dengan mengetahui hal tersebut, akan bertambah yakin dengan kesempurnaan Allah Azza wa Jalla. 3. Dengan mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala dan beriman kepada-Nya, maka seseorang bisa mewujudkan ibadah yang sesungguhnya kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Demikianlah pembahasan ini semoga ini menjadi pintu gerbang bagi kita untuk mengenal Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih dalam lagi, sehingga kita akan merasakan kelezatan beriman dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam. Faishal Abdurrahman, Lc
Olehsebab itu, Ma'rifatullah (mengenal/memahami Allah) adalah ilmu yang paling penting untuk difahami dibandingkan dengan ilmu-ilmu yang lain. Sekarang kita masuk alasan yang ke-2, mengapa perkara mengenal Allah itu menjadi sangat penting sekali, yakni dikarenakan: 2. Dalil yang kuat.Marifatullah merupakan ilmu yang tertinggi yang harus difahami manusia (QS 6:122). Ma'rifatullah adalah mengenal Allah, merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan setiap insan. Dengan mengenal Allah, seseorang akan lebih dapat mengenali dirinya sendiri. Untuk apa ia (manusia) diciptakan, kemana arah dan tujuan hidupnya, serta tanggung jawab yang dipikulnya sebagai seorang
Marifatullah Saudaraku,, mari mengenal-Nya. Total Tayangan Halaman ragam,berbagai macam jenis fashion ada di tempat ini,kampus baruku.Sekarang aku sadar apa yang dikatakan orang-orang tentang fakultas ku,seratus persen benar sekali,sosialisasi masih jawaban dari pertanyaan di atas adalah kita harus berusaha agar UKMI Ath-Thibb dibawa
Menjawabpertanyaan ini, kita suka atau tidak harus menggunakan akal sehingga nanti dapat menemukan jawaban, entah afirmatif ataukah negatif, yang betul-betul meyakinkan. Maka, jika pada seseorang terbukti adanya semacam pengetahuan tentang Allah (ma'rifatullah) yang tidak perlu proses belajar, pengetahuan itu dapat dinamakan pengenalan
Halaqah13 ~ Landasan Pertama, Ma'rifatullah (Bagian 01) | HSI BA. 🔊 Halaqah 13 ~ Landasan Pertama, Ma'rifatullah (Bagian 01) Kita akan masuk pada poin yaitu tentang Mengenal Allah Subhanahu wa Taala, beliau mengatakan, فإذا قيل لك: ما الأصول الثلاثة التي يجب على الإنسان معرفتها؟. فقل
MARIFATULLAH Rabu, 21 Desember 2016. Pertanyaan tentang dari mana dan mau kemana (Sangkan Paraning Dumadi) pada setiap perjalanan dari individu makhluk terus menggelinding dari zaman ke zaman. Pada suatu kesempatan sunan kudus berkesempatan melemparkan pertanyaan simbolik kepada Ki Ageng Pengging, sebagai berikut : Kalamun ingsun
ThariqanMa'rifatullah, Alor Setar. 97 likes. Untuk menerangkan perkara-perkara berkaitan agama islam dan permulaan bagi agama iaitu mengenal ALLAH -Jawapan Terhadap Nukilan Salafi Wahabi Tentang Allah Berada Di Atas 1. Imam al-Auzai 2. Imam Qutaibah bin Sa'id 3. Imam Ibn Qutaibah -Menjawab Pertanyaan Salafi Wahabi-Imam Ibnu Taimiyah
Ditanyatentang apa itu Islām, Iman, ihsān, kapan terjadinya hari kiamat dan apa tanda-tandanya. Metode tanya jawab adalah salah satu diantara metode-metode untuk memberikan pengajaran, mentransfer ilmu kepada orang lain, maksudnya supaya orang yang ditanya memberikan perhatian. Beliau mengatakan: فإذا قيل لك:من ربك؟
jikasdr sekalian sudah sedikit memahami tentang 4 tingkatan ilmu di atas mari kita gandengkan pemahamannya dengan topik awal kita/tentang Awal agama mengenal Allah yg akhirnya merujuk pada nilai-nilai syahadah.Perintah mengenal Allah yg kita dapati baik di firman maupun hadits sesungguhnya di katakan Dalil/yg menunjuki/kata tunjuk bagi si
.